Kesuksesan perjalanan menuju Allah akan mencapai finisnya di jannah yang istimewa. Kebahagiaan abadi dan kenikmatan yang tak pernah dilihat mata, belum pernah didengar telinga dan belum pernah terdetik dalam dati manusia. Itulah perniagaan Allah yang disediakan bagi siapapumn yang berani membayar harganya. Nabi shalallahu alaihi wasalam bersabda:
أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ غَا لِيَةَ أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ الْخَنَّةَ
“Ketahuilah bahwa perniagaan Allah itu mahal, ketahuilah bahwa perniagaan Allah itu adalah jannah,” ( HR Tirmidzi, dishohehkan oleh Al Albani)
Tak ada hasil yang istimewa yang ditempuh dengan cara berleha-leha. Tak ada cirta-cita besar melainkan harus diraih setelah menaklukkan bnyak rintangan dan tantangan. Begitu pula perjalanan menuju Allah, rintangan senantiasa terpampang dihadapan. Gangguan dan godaan bertebaran sepanjang jalan. Dan musuh cita-cita selalu mengintai dan menjegal para pejalan. Maka, bagi orang yang menenpuh jalan Allah terus memiliki kepekaan dan kewaspadaan terhadap segala rintangan perjalanan. Atau yang diistilahkan dengan ‘hadzar’ , waspada.
Bahaya Tipuan Angan
Tak selalunya rintangan dan musuh perjalanan itu berasal dari luar. Musuh berbahaya dan yang pertama kali layak diwaspadai justru ada pada diri manusia itu sendiri, yakni nafsu. Karena keinginan nafsu umumnya berkebalikan dengan cita-cita mulia. Nafsu ingin berleha-leha, sedangkan cita-cita mengharuskan kerja keras dan segera. Nafsu menyukai kelezatan dan kenikmatan instan, padahal cita-cita hanya bisa diraih oleh orang yang mampu menunda kenikmatan dan menangguhkannya.
Nafsu yang cenderung ingin sesegera mungkin mengenyam nikmat yang segera, menyebabkan ia lupa arah dan tujuan perjalanan atau menunda keberangkatan. Anganpun melayang , seakan tak ada batas waktu baginya untuk berjalan mencapai tujuan perjalanan. Akhirnya ia menunda dan memperlambat perjalanan demi merasakan rehat atau mengenyam sedikit kenikmatan. Padahal , makin lama ia rahat dan berpangku tangan, akan terasa makin berat perjalanan. Semakin lama sesseorang menunda taubat atau amal kebaikan , makin sulit baginya untuk memulai dan mewujudkannya. Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin memberikan perumpamaan yang bagus dalam hal ini.
“Perumpamaan orang yang menunda taubat itu seperti orang yang ingin mencabut suatu tanaman, namun terbayang olehnya bahwa untuk mencabutnya harus mengerahkan tenaga ekstra. Dia kemudian mengatakan ,”Saya akan menangguhkannya sampai tahun depan, dan saya akan kembali untik mencabutnya. Dia tidak sadar bahwa satu tahun berjalan, maka pohon itu semakin kuat, sementara dirinya makin bertambah umurnya, makin lemah kekuatannya.”
Begitulah kebanyakan manusia menunda taubat, menangguhkan ibadah, melewatkan peluang hingga habislah batas umurnya. Lalu tiba-tiba ia harus meninggalkan dunia ini dengan tangan hampa. Hingga menanggung penyesalan yang dalam. Allah berfirman:
”…dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” ( QS Al Kahfi:28).
Seorang tabi’in , Al Jaiza Aus bin Abdillah Al-Bashri menafsirkan bahwa maksud melewati batas adalah menunda-nunda.
Kiranya benar apa yang disebutkan oleh Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam sebuah ceramahnya, “Andai saja orang mati bisa bicara, tentu mereka akan berkata, “Aku binasa karena huruf ‘sin’ dan kata ‘saufa’” . huruf sin ketika mengawali kata kerja mudhari’ maknanya adalah ‘akan’ yang berkonotasi penundaan sejenak. Sedangkan kata saufa berarti ‘kelak’, untuk menunjukkan penundaan pekerjaan lebih lama. Begitulah adanya, banyak orang yang gagal beramal, terlambat untuk bertaubat dan kehilangan peluang kebaikan karena suka menunda.
Selain suka menunda, tabiat nafsu juga mudah tergiur oleh keindahan dan kelezatan. Gemerlap dunia beserta hiasannya berpeluang besar membuat nafsu tergiur untuk mengejar dan mengenyam sebanyak-banyaknya. Hingga ia berangan-angan untuk mendapatkan segalanya, dan ia lupa bahwa semua yang ada di dunia tak setara dengan satu sayap nyamuk bila dibandingkan dengan kenikmatan akhirat, baik dari sisi peringkat maupun masanya. Atau senilai kadar air yang menempel dijari-jari setelah dicelupkan ke samudra dibandingkan keseluruhan air di samudra.
Dari secuil kenikmatan dunia itupun , hanya bagian sangat kecil yang mampu diraih manusia. Sebagian besarnya lagi hanya sebatas angan-angan kosong yang tak mampu diraihnya. Ia mengerahkan segala kemampuannya untuk sesuatu yang tak bisa diraihnya. Ibnu al-Jauzi rahimakumullah dalam kitabnya ‘Bustanul Wai’izhin wa Byadhussami’in’ menyebutkan sebuah kisah yang patut diambil pelajaran.
Alkisah , ada seorang lelaki shalih bermimpi, dalam mimpinya itu ia melihat seseorang dalam hutan. Lelaki itu sedang berusaha mengejar rusa yang berlari semakin kencang dan dibelakang lelaki itu ada seekor singa yang sangat besar sedang mengejar dirinya. Ketika lelaki itu hamper saja berhasil mengejar rusa itu , tiba-tiba singa besar lebih dahulu memangsa lelaki itu. Rusa itupu terhenti sembari melihat kea rah lelaki yang terbunuh itu. Kemudian menyusul lagi orang lain yang mengejarnya , namun ia mati terbunuh oleh singa sebelum ia berhasil mengejar rusa. Lalu menyusui lagi orang lain, dan akhirnya mengalami hal yang sama, terbunuh sebelum mengejar rusa. Aku masih saja melihat dalam mimpi itu hingga terjadi 100 orang yang mengalami nasib yang sama. Akupun berkata , kejadia n yang sungguh menakjub kan.
Apanya yang menakjubkan? Atau taukah kamu siapa aku dan siapa rusa itu? Tanya singa itu, “Aku tak tahu” jawabku. “ Aku adalah malakul maut, sedangkan rusa itu adalah dinia, sedang para korban itu adalah orang-orang yang hendak mengejar dunia. Aku membunuh mereka satu persatu, hingga orang yang terakhir dari mereka.”
Ketika manusia sedang asyik memimpikan rumah yang luas, kendaraan yang bagus,dan keuntungan yang melimpah, tiba-tiba ia sudah dampai pada garis yang lebih dekat (ajalnya). Sebagaimana biasa, ajal dating secara tiba-tiba tanpa permisi.
Alankah ruginya ia, gagal mengejar sesuatu yang fana, luput pula darinya kenuikmatan sempurna yang kekal selamanya.
Waspadai Muslihat Setan
Musuh nyata yang berasal dari luar adalah setan. Dengan egas Allah menyebutnya sebagai ‘adawwun mubin’, musuh yang nyata. Setan tidak menyukai jika para pemburu surga makin dekat dengan garis finish. Setan tidak ingin tinggal di neraka sendirian, maka ia berusaha membuat jebakan dan memasang rintangan-rintangan.
Jangan lupa, bahwa setan memiliki waktu kerja fulltime untuk menggoda , Setan tidak tidur maupun rehat, sedangkan kita banyak tidur dan berleha-leha. Kita tidak bisa melihat dan memantau kegiatan setan. Sedangkan setan melihat kegiatan dan aktifitas kita. Dia tidak pernah melupakan, tidak pula melepaskan manusia, sedangkn kita sering melupakannya. Dan setan bisa bersemayam dalam diri manusia dan tidak sebaliknya. Keadaanya seperti yang disebutkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam lantunan doanya.
“Wahai Rabbi, engkau telah menguasakan musuh atas diriku. Engkau jadikan dadaku sebagai tempat tinggalnya, engkau jadikan aliran darahku sebagai jalannya. Jika aku ingin berbuat maksiat dia memberanikanku. Jika aku ingin berbuat ketaatan ia memperlambat langkahku. Dia tidak lalai saat aku lalai . dia tidak lupa saat aku lupa. Dia memasang jerat syahwat dan menyuguhkan syubhat kepadaku. Dan jika Engkau wahai Rabbku, tidak menjauhkan tipu dayanya dariku maka ia akan menggelincirkan. Yaa Allah tundukkanlah kekuatannya untukku dengan kekuasaanMu atas dirinya , sehingga ia menyingkir dengan banyaknya dzikirku kepadaMu sehingga aku termasuk orang-orang yang terjaga dari kejahatan setan.” (Sirah Umar bin Abdul Aziz oleh Ibnu Adul Hakam).
Meskipun nyata dan jelas posisi setan sebagai musuh, namun cara memusuhi manusia bersifat tersembunyi dan samar. Musuh ini memasang ranjau disepanjang jalan menuju jannah . ia juga akan menghiasi tepi-tepi jurang kebinasaan dengan aneka asesoris yang menggiurkan. Pintu-pintu masuk menuju persimpangan jalan dipersolek untuk menarik perhatian. Inilah yang disebut dengan ‘tazyin’, menghias dosa dan keburukan dengan kemasan menarik. Ini menjadi jurus pakem setan sebelum melakukan ighwa’(godaan). Ini sebagaimana pengakuannya sendiri,
“Iblis berkata, ‘Wahai rabbku oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) dimuka bumi (tazyin), dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya (ighwa’).” (QS al-Hijr: 39)
Kemasan itu bisa pemberian label dosa dengan nama menarik, atau membungkus maksiat dengan kemasan islami, atau mencampur kemaksiatan dengan ketaatan. Faktanya , feeling manusia lebih tertarik dengan label dan kemasan daripada substansinya. Sebagaimana label dan kemasan dalam dunia pemasaran seringkali lebih menarik konsumen dari mutu produknya. Ambil contoh dua produk : ada minyak babi yang diberi merk ‘kelapa’ lebih menarik daripada minyak kelapa yang diberi merk ‘babi’.
Seorang pemburu jannah senantiasa waspada, tidak mudah terkecoh oleh nama ataupun label. Karena hakekatnya ‘al-asma’ laa tughayyirul haqaa’iq’, nama itu tidak mengubah hakikat sesuatu. Maka tidak ada alat sensor yang mampu membedakan antara kebatilan yang telah dikemas tampak benar dengan kebenaran yang sesungguhnya melainkan dengan ilmu. Yakni ilmu tentang hakekat kebenaran dan strategi setan menyesatkan manusia. Wallahu a’lam ( Abu Umr Abdullah- Arrisalah)